Ismail berusia belia ketika memulai
perjalanannya menuju Allah SWT. Ibunya membawanya dan menidurkannya di atas
tanah, yaitu tempat yang sekarang kita kenal dengan nama sumur zamzam dalam
Ka'bah. Saat itu tempat yang dihuninya sangat tandus dan belum terdapat sumur
yang memancar dari bawah kakinya. Tidak ada di sana setetes air pun. Nabi
Ibrahim meninggalkan istrinya, Hajar, bersama anaknya yang kecil. "Wahai
Ibrahim kemana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di lembah yang kering
ini?" Kata Hajar. "Wahai Ibrahim di mana engkau akan pergi dan
membiarkan kami? Wahai Ibrahim ke mana engkau akan pergi?" Si ibu
mengulang-ulang apa yang dikatakannya. Sedangkan Nabi Ibrahim diam dan tidak
menjawab. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana perasaan Nabi Ibrahim
saat meninggalkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ada di alamnya
tumbuh-tumbuhan dan minuman. Namun Allah SWT telah memerintahkannya untuk
tinggal di lembah itu. Dengan lapang dada Nabi Ibrahim melaksanakan perintah
Allah SWT.
Dalam kisah-kisah israiliyat
(kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani Israil) disebutkan bahwa istri
pertamanya, Sarah, tampak cemburu pada Hajar, istri keduanya, sehingga
karenanya Nabi Ibrahim harus menjauhkannya beserta anaknya. Kami percaya bahwa
kisah ini palsu dan penuh dengan kebohongan. Jika kita mengamati kepribadian
Nabi Ibrahim, maka kita mengetahui bahwa beliau tidak akan mendapat perintah
dari seorang pun selain Allah SWT.
Kami tidak meyakini bahwa beliau
terperangkap dalam perasaan kecemburuan feminisme dan kami juga tidak percaya
bahwa beliau sengaja membangkitkan perasaan ini. Kami tidak mengira bahwa
pribadi Sarah yang mulia akan terpedaya dengan sikap egoisme. Bukankah ia
sendiri yang menikahkan Nabi Ibrahim dengan Hajar, pembantunya agar ia
mendapatkan keturunan? Ia menyadari bahwa dirinya wanita tua dan mandul. Ia
sendiri yang menikahkannya dan membantu pelaksanaannya. Ia telah memberikan dan
mengabdikan dirinya kepada seorang lelaki yang hatinya tiada dipenuhi dengan
cinta kepada siapa pun kecuali cinta kepada Penciptanya.
Allah SWT berfirman tentang Sarah
dan Hajar:
"Rahmat Allah dan
keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha
Terpuji lagi Maha Pemurah. (QS. Hud: 73)
Jadi, masalahnya adalah bukan
masalah kecemburuan antara sesama wanita, namun ia adalah tugas yang
diperintahkan oleh Allah SWT yang di dalamnya tersembunyi hikmah-Nya.
Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar ketika Nabi Ibrahim
memerintahkannya untuk membawa anaknya Ismail dan mengikutinya. "Ke mana
engkau hai Ibrahim pergi?" Mungkin pertama-tama Hajar yang bertanya
kepadanya dan mungkin juga Sarah yang bertanya. Nabi Ibrahim hanya terdiam dan
akhirnya kedua wanita itu pun juga terdiam.
Di sana terdapat hikmah yang
tersembunyi di mana Nabi Ibrahim tidak mengetahuinya dan Allah SWT tidak
menjelaskan kepadanya. la tidak mengetahui hai itu sebagaimana mereka berdua
juga tidak mengetahuinya. Jadi kedua-duanya hanya terdiam sebagai bentuk akhlak
dari istri-istri nabi. Inilah Hajar yang sendirian bersama anaknya di lembah
yang terasing dan tandus, di mana ia tidak mengetahui rahasia di balik tempat
itu. Inilah Ismail yang memulai perjalanannya menuju Allah SWT saat masih
menyusui. Ia mengalami ujian saat masih kecil dan juga ujian bagi ayahnya, di
mana ia mendapatkan seorang anak saat sudah tua. Nabi Ibrahim menyadari bahwa
manusia tidak memiliki sesuatu pun dalam dirinya. Dan seseorang yang cinta
kepada Allah SWT akan memberikan dirinya kepada Allah SWT dan akan memberikan
apa yang disukai oleh dirinya kepada Allah SWT tanpa harus diminta. Itu adalah
hukum cinta yang dalam. Kami tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim mengetahui
mengapa ia harus meninggalkan Ismail dan ibunya di tempat itu. Kami tidak
mengira bahwa Allah SWT telah memberitahunya. Allah SWT hanya menurunkan
perintah dan Ibrahim hanya menaatinya. Di sinilah tampak kerasnya ujian dan
kesulitannya. Di sinilah cinta yang paling dalam diungkapkan, dan di sinilah
cinta yang murni dituangkan.
Allah SWT menguji kekasih-Nya
Ibrahim dengan suatu ujian yang sangat keras, di mana umumnya para orang tua
berat sekali melakukannya. Bukan berarti bahwa cinta Allah SWT kepada Ibrahim
dan cinta Ibrahim kepada-Nya menjadikan Ibrahim tidak memiliki perasaan
kemanusiaan. Kekuatan cintanya pada Allah SWT justru menjadikan sebagai lautan
dari perasaan kemanusiaan, bahkan lautan yang tidak bertepi. Perasaan beliau
terhadap Ismail lebih besar, lebih lembut, dan lebih sayang dari perasaan ayah
mana pun terhadap anaknya. Meskipun demikian, beliau rela meninggalkannya di
tempat yang tandus karena Allah SWT memerintahkan hal tersebut. Terjadilah
pergulatan dalam dirinya namun ia mampu melewati ujiannya dan beliau memilih
cinta Allah SWT daripada cinta anaknya.
Ketika Nabi Ibrahim menampakkan
kecintaan yang luar biasa dari yang seharusnya kepada anaknya, maka Allah SWT
memerintahkannya untuk menyembelihnya. Allah SWT agar hanya Dia yang menjadi
pusat cinta para nabi-Nya. Barangsiapa yang mencintai Allah SWT, maka ia pun
harus mencintai kebenaran dan orang yang mencintai kebenaran adalah orang
memenuhi hatinya dengan cinta kepada Penciptanya semata. Ismail mewarisi
kesabaran ayahnya. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT sebelumnya:
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh" (QS.
ash-Shaffat: 100)
Allah SWT menjawab:
"Maka Kami beri dia kabar
gembira dengan seorang anak yang amat
sabar." (QS. ash-Shaffat: 101)
Kesabaran yang sama yang terdapat
pada ayahnya, kebaikan yang sama, ketakwaan yang sama, dan adab kenabian yang
sama pula. Ismail mendapatkan ujian yang pertama saat beliau kecil dan ujian
itu berakhir saat Allah SWT memancarkan zamzam dari kedua kakinya sehingga
darinya ibunya minum dan menyusuinya. Kemudian Ismail mendapatkan ujian yang
kedua dalam hidupnya saat ia menginjak masa muda:
"Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.'" (QS. ash-Shaffat: 102)
Apa yang Anda kira terhadap
jawaban si anak? Ia tidak bertanya tentang sifat dari mimpi itu, dan ia tidak
berdebat dengan ayahnya tentang kebenaran mimpi itu, tetapi yang dikatakannya:
"Wahai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan. "Janganlah engkau
gelisah karena aku dan janganlah engkau menampakkan kesedihan dan keluh-kesah.
"Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Demikianlah jawaban seorang anak yang saleh terhadap ayahnya yang saleh.
Itulah puncak dari kesabaran dari seorang anak dan tentu orang tuanya lebih
harus bersabar. Itu bagaikan perlombaan di antara keduanya untuk menguji siapa
di antara mereka yang paling sabar. Perlombaan yang tujuannya adalah meraih
cinta Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur'an.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang
rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan
zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam:
54-55)
Baitullah
Ismail hidup di semenanjung Arab
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ismail memelihara kuda dan terhibur
dengannya serta memanfaatkannya untuk keperluannya. Sedangkan air zamzam sangat
membantu orang-orang yang tinggal di daerah itu. Kemudian sebagian kafilah
menetap di situ dan sebagian kabilah tinggal di tempat itu. Nabi Ismail tumbuh
menjadi dewasa dan menikah. Lalu ayahnya, Nabi Ibrahim, mengunjunginya dan
tidak menemukannya dalam rumah namun ia hanya mendapati istrinya. Nabi Ibrahim
bertanya kepadanya tentang kehidupan mereka dan keadaan mereka. Istrinya
mengadukan padanya tentang kesempitan hidup dan kesulitannya. Nabi Ibrahim
berkata padanya: "Jika datang suamimu, maka perintahkan padanya untuk
mengubah gerbang pintunya."
Ketika Nabi Ismail datang, dan
istrinya menceritakan padanya perihal kedatangan seorang lelaki, Ismail
berkata: "Itu adalah ayahku dan ia memerintahkan aku untuk meninggalkanmu,
maka kembalilah engkau pada keluargamu." Kemudian Nabi Ismail menikahi
wanita yang kedua. Nabi Ibrahim mengunjungi istri keduanya dan bertanya
kepadanya tentang keadaannya. Lalu ia menceritakan padanya bahwa mereka dalam
keadaan baik-baik dan dikaruniai nikmat. Nabi Ibrahim puas terhadap istri ini
dan memang ia cocok dengan anaknya. Barangkali Nabi Ibrahim menggunakan
kemampuan spiritualnya dan cahaya yang mampu menyingkap kegaiban yang
dimilikinya. Nabi Ibrahim menyiapkan Ismail untuk mengemban tugas yang besar.
Yaitu tugas yang membutuhkan kerja keras kemanusiaan seluruhnya dan waktunya
seluruhnya serta kenyamanannya seluruhnya.
Ismail menjadi besar dan mencapai
kekuatannya. Nabi Ibrahim mendatanginya. Tibalah saat yang tepat untuk
menjelaskan hikmah Allah SWT yang telah terjadi dari perkara-perkara yang
samar. Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail: "Wahai Ismail, sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan padaku suatu perintah" ketika datang perintah pada
Nabi Ibrahim untuk menyembelihnya, beliau menjelaskan kepadanya persoalan itu
dengan gamblang. Dan sekarang ia hendak mengemukakan perintah lain yang sama
agar ia mendapatkan keyakinan bahwa Ismail akan membantunya. Kita di hadapan
perintah yang lebih penting daripada penyembelihan. Perintah yang tidak
berkenaan dengan pribadi nabi tetapi berkenaan dengan makhluk.
Ismail berkata:
"Laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu padamu." Nabi Ibrahim
berkata: "Apakah engkau akan membantuku?" Ismail menjawab: "Ya,
aku akan membantumu." Nabi Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah SWT
memerintahkan aku untuk membangun rumah di sini." Nabi Ibrahim
mengisyaratkan dengan tangannya dan menunjuk suatu bukit yang tinggi di sana.
Selesailah pekerjaan itu.
Perintah itu telah dilaksanakan dengan berdirinya Baitullah yang suci. Itu
adalah rumah yang pertama kali dibangun untuk menusia di bumi. Ia adalah rumah
pertama yang di dalamnya manusia menyembah Tuhannya. Dan karena Nabi Adam
adalah manusia yang pertama turun ke bumi, maka keutamaan pembangunannya
kembali padanya. Para ulama berkata: "Sesungguhnya Nabi Adam membangunnya
dan ia melakukan thawaf di sekelilingnya seperti para malaikat yang tawaf di
sekitar arsy Allah SWT.
Nabi Adam membangun suatu kemah
yang di dalamnya ia menyembah Allah SWT. Adalah hal yang biasa bagi Nabi Adam—
sebagai seorang Nabi—untuk membangun sebuah rumah untuk menyembah Allah SWT.
Tempat itu dipenuhi dengan rahmat. Kemudian Nabi Adam meninggal dan berlalulah
abad demi abad sehingga rumah itu hilang dan tersembunyi tempatnya. Maka Nabi
Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk membangun kedua kalinya agar
rumah itu tetap berdiri sampai hari kiamat dengan izin Allah SWT. Nabi Ibrahim
mulai membangun Ka'bah. Ka'bah adalah sekumpulan batu yang tidak membahayakan
dan tidak memberikan manfaat. Ia tidak lebih dari sekadar batu. Meskipun
demikian, ia merupakan simbol tauhid Islam dan tempat penyucian kepada Allah
SWT. Nabi Adam memiliki tauhid yang tinggi dan Islam yang mutlak. Nabi Ibrahim
pun termasuk seorang Muslim yang tulus dan ia bukan termasuk seorang musyrik.
Batu-batu rumah itu telah
dibangun dari ketenteraman hati Nabi Adam dan kedamaian Nabi Ibrahim serta
cintanya dan kesabaran Nabi Ismail serta ketulusannya. Oleh karena itu, ketika
Anda memasuki Masjidil Haram Anda akan merasakan suatu gelombang kedamaian yang
sangat dalam. Terkadang pada kali yang pertama engkau melihat dirimu dan tidak
melihat rumah dan pemeliharanya. Dan barangkali engkau melihat rumah pada kali
yang kedua namun engkau tidak melihat dirimu dan Tuhanmu. Ketika engkau pergi
ke haji engkau tidak akan melihat dirimu dan rumah itu yang engkau lihat hanya
pemelihara rumah itu. Ini adalah haji yang hakiki. Inilah hikmah yang pertama
dari pembangunan Ka'bah.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar baitullah bersama Ismail (seraya
berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk dan patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di
antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka
al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (QS.
al-Baqarah: 127-129)
Ka'bah terdiri dari batu-batuan
yang ada di bumi di mana ia dijadikan pondasi oleh Nabi Ibrahim dan Ismail.
Sejarah menceritakan bahwa ia pernah dihancurkan lebih dari sekali sehingga ia
pun beberapa kali dibangun kembali. Ia tetap berdiri sejak masa Nabi Ibrahim
sampai hari ini. Dan ketika Rasulullah saw diutus —sebagai bukti pengkabulan
doa Nabi Ibrahim—beliau mendapad Ka'bah dibangun terakhir kalinya, dan tenaga
yang dicurahkan oleh orang-orang yang membangunnya sangat terbatas di mana
mereka tidak menggali dasarnya sebagaimana Nabi Ibrahim menggalinya. Dari sini
kita memahami bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mencurahkan tenaga keras yang
tidak dapat ditandingi oleh ribuan laki-laki. Rasullah saw telah menegaskan
bahwa kalau bukan karena kedekatan kaum dengan masa jahiliyah dan kekhawatiran
orang-orang akan menuduhnya dengan berbagai tuduhan jika beliau
menghancurkannya dan membangunkannya kembali, niscaya beliau ingin
merobohkannya dan mengembalikannya ke pondasi Nabi Ibrahim.
Sungguh kedua nabi yang mulia itu
telah mencurahkan tenaga keras dalam membangunnya. Mereka berdua menggali
pondasi karena dalamnya tanah yang di bumi. Mereka memecahkan batu-batuan dari
gunung yang cukup jauh dan dekat, lalu setelah itu memindahkannya dan
meratakannya serta membangunnya. Tentu hal itu memerlukan tenaga keras dari beberapa
pria tetapi mereka berdua membangunnya bersama-sama. Kita tidak mengetahui
berapa banyak waktu yang digunakan untuk membangun Ka'bah sebagaimana kita
tidak mengetahui waktu yang digunakan untuk membuat perahu Nabi Nuh. Yang
penting adalah, bahwa perahu Nabi Nuh dan Ka'bah sama-sama sebagai tempat
perlindungan manusia dan tempat yang membawa keamanan dan kedamaian. Ka'bah
adalah perahu Nabi Nuh yang tetap di atas bumi selama-lamanya. Ia selalu
menunggu orang-orang yang menginginkan keselamatan dari kedahsyatan angin topan
yang selalu mengancam setiap saat.
Allah SWT tidak menceritakan
kepada kita tentang waktu pembangunan Ka'bah. Allah SWT hanya menceritakan
perkara yang lebih penting dan lebih bermanfaat. Dia menceritakan tentang
kesucian jiwa orang-orang yang membangunnya dan doa mereka saat membangunnya:
"Tuhan kami, terimalah dari
hand (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. " (QS. al-Baqarah: 127)
Itulah puncak keikhlasan
orang-orang yang ikhlas, ketaatan orang-orang yang taat, ketakutan orang-orang
yang takut, dan kecintaan orang-orang yang mencintai:
"Ya Tuhan kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara
cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau." (QS. al-Baqarah: 128)
Sesungguhnya kaum Muslim yang
paling agung di muka bumi saat itu, mereka berdoa kepada Allah SWT agar
menjadikan mereka termasuk orang-orang yang berserah diri pada-Nya. Mereka
mengetahui bahwa hati manusia terletak sangat dekat dengan ar-Rahman (Allah
SWT). Mereka tidak akan mampu menghindari tipu daya Allah SWT. Olah karena itu,
mereka menampakkan kemurnian ibadah hanya kepada Allah SWT, dan mereka
membangun rumah Allah SWT serta meminta pada-Nya agar menerima pekerjaan
mereka.
Selanjutnya, mereka meminta Islam
(penyerahan diri) pada-Nya dan rahmat yang turun pada mereka di mana mereka
memohon kepada Allah SWT agar memberi mereka keturunan dari umat Islam. Mereka
ingin agar jumlah orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang sujud dan
rukuk semakin banyak. Sesungguhnya doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menyingkap
isi had seorang mukmin. Mereka membangun rumah Allah SWT dan pada saat yang
sama mereka disibukkan dengan urusan akidah (keyakinan). Itu mengisyaratkan
bahwa rumah itu sebagai simbol dari akidah.
"Dan tunjukkanlah kepada
kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. "
(QS. al-Baqarah: 128)
Perlihatkanlah kepada kami cara
ibadah yang Engkau sukai. Perlihatkanlah kepada kami bagaimana kami
menyembah-Mu di bumi. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau Maha
Penerima taubat dan Maha Penyayang. Setelah itu, kepedulian mereka melampaui
masa yang mereka hidup di dalamnya. Mereka berdoa kepada Allah SWT:
"Ya Tuhan kami, utuslah
untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada
mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan
al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (QS. al-Baqarah: 129)
Akhirnya, doa tersebut terkabul
ketika Allah SWT mengutus Muhammad bin Abdillah saw. Doa tersebut terwujud
setelah melalui masa demi masa. Selesailah pembangunan Ka'bah dan Nabi Ibrahim
menginginkan batu yang istimewa yang akan menjadi tanda khusus di mana tawaf di
sekitar Ka'bah akan dimulai darinya. Ismail telah mencurahkan tenaga di atas
kemampuan manusia biasa. Beliau bekerja dengan sangat antusias sebagai wujud
ketaatan terhadap perintah ayahnya. Ketika beliau kembali, Nabi Ibrahim telah
meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. "Siapakah yang mendatangkannya (batu)
padamu wahai ayahku?" Nabi Ibrahim berkata: "Jibril as yang
mendatangkannya." Selesailah pembangunan Ka'bah dan orang- orang yang
mengesakan Allah SWT serta orang-orang Muslim mulai bertawaf di sekitarnya. Nabi
Ibrahim berdiri dalam keadaan berdoa kepada Tuhannya sama dengan doa yang
dibacanya sebelumnya, yaitu agar Allah SWT menjadikan had manusia cenderung
pada tempat itu:
"Maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka. "(QS. Ibrahim: 37)
Karena pengaruh doa tersebut,
kaum Muslim merasakan kecintaan yang dalam untuk mengunjungi Baitul Haram.
Setiap orang yang mengunjungi Masjidil Haram dan kembali ke negerinya ia akan
merasakan kerinduan pada tempat itu. Semakin jauh ia, semakin meningkat kerinduannya
padanya. Kemudian, datanglah musim haji pada setiap tahun, maka hati yang penuh
dengan cinta pada Baitullah akan segera melihatnya dan rasa hausnya terhadap
sumur zamzam akan segera terpuaskan. Dan yang lebih penting dari semua itu
adalah cinta yang dalam terhadap Tuhan, Baitullah dan sumur zamzam yaitu, Tuhan
alam semesta. Allah SWT berfirman berkenaan dengan orang-orang yang mendebat
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail:
"Ibrahim bukan seorang
Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik. " (QS. Ali 'Imran: 67)
Allah SWT mengabulkan doa Nabi
Ibrahim dan beliau yang pertama kali menamakan kita sebagai orang-orang Muslim.
Allah SWT berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dan dahulu.
" (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar